Chit Chat

19.15

Rahangku terasa sakit dan pegal karena terlalu banyak tersenyum dan tertawa. Aku menyingkir dari dalam rumah itu dan menuju kebun belakang. Aku pikir aku sendirian lalu seorang gadis menghampiriku.

“Aku tak percaya oppa mau bersama gadis sepertimu.” Ucap gadis itu dengan ketus. Aku menatapnya sekilas lalu memandang sekelilingku.

“Thanks” balasku asal. Aku sedang tidak mood untuk mengimprovisasi novelku. Ataupun memainkan drama.

“Kau hanya gadis jelek tau! Tidak usah sombong deh.” Ucap gadis itu semakin sinis. Aku memandangnya.

“Maaf, aku tidak mengerti maksudmu.” Ucapku berusaha kalem walaupun aku sudah ingin balik menyerangnya.

“Bitch!” Ucap gadis itu sebelum akhirnya meninggalkan ku. Aku menghembuskan nafas dengan lega, aku tidak biasa menjadi seperti itu. Aku tidak bisa menahan emosiku sendiri.

Byarr…

“Shit!” Desisku menengok kebelakang. Gadis itu baru saja menyiramku dengan anggur merah. Sekarang dress putihnya memiliki noda merah disekitar bagian punggungnya. Aku mendorong gadis itu.

“Diajari sopan santun tidak sih!” Bentakku kencang.

“Hei hei, apa yang terjadi?” Tiba tiba Hye Jin datang entah dari mana. Sebelum aku sempat menjawab gadis itu sudah bangun dan mendekati Hye Jin duluan.

“Eonni hanya sedikit emosi karena aku menumpahkan wine ke bajunya. Aku yang salah kok oppa.” Ucap gadis itu mencari pembelaan.

“Sudahlah Rae-chan, kenapa harus mendorong Carol sih?” Hye Jin tersenyum menatapku lalu mendatangiku, berusaha mengelus kepalaku tapi aku menepis tangannya dan melipat tanganku sambil memeberikan tatapan bertanya padanya.

Namun aku sangat kecewa padanya hari ini. Pertama ia datang tiba tiba ke Korea. Lalu menyuruhku menjadi bonekanya. Lalu aku datang ke pesta ulang tahunnya tanpa tau ialah yang berulang tahun. Lalu kini ia bahkan semudah itu percaya pada siapapun gadis itu.

Sesaat ia tampak kaget karena aku menepis tangannya. Setelah mendapat tatapanku ia mencoba menyentuh kepalaku lagi. Kali ini aku tidak melawan. Ia mengusap kepalaku lembut lalu memelukku.

“Maaf.” Ucapnya pelan seakan mengerti arti tatapanku.

“Jadi oppa lebih belain cewek itu daripada Carol?” Tanya Carol dengan suara melengking.

Hye Jin melepas pelukannya padaku dan menatap Carol.

“Carol…” ujar Hye Jin pelan tapi nadanya tegas. Carol menatapku sinis lalu berjalan pergi.

“Punggung kamu basah, rambut kamu juga basah bagian bawahnya.” Ia teraenyum padaku lalu melepas blazernya dan memakaikannya padaku. Aku mengangguk.

Setelah meminjam kamar mandi di kamar Carol gadis itu juga meminjamkan baju miliknya. Baggy shirt putih dengan gambar mickey mouse dan celana pendek abu abu.

“Tapi blazernya oppa kasih aku!” Perintah gadis itu pada Hye Jin yang menunggu diluar. Sepertinya Hye Jin setuju saja.

Aku keluar dengan baju yang pas itu. Untung saja ia memilih putih dan abu abu tua untukku karena cukup matching dengan sepatu, rambut, kalung dan gelangku.

“Thanks.” Ucapku sambil menatap diri sendiri di cermin.

“Whatever.” Ucap gadis itu acuh tak acuh sambil berjalan keluar dan meminta blazer Hye Jin.

Hye Jin membiarkan aku mengobrol bersama neneknya yang lebih suka dipanggil Esther.

“Dulu, waktu dia masih kecil, bandel sekali. Betul betul bandel. Dikasih tau apa gamau, disuruh apa ngelawan. Tapi sudah dewasa seperti ini, anaknya baik kan? Setiap ada acara keluarga dia pulang kesini. Sopan, ganteng, baik. Tapi masih aja belum mau menikah.” Ucap Esther panjang lebar.

“Aaa… menikah kan bisa nanti grandma.” Canda Hye Jin duduk disebelahku.

“Liat tuh, dikasih tau masih ngelawan aja. Grandma kan maunya cepet liat cicit. Kamu kan yang paling tua!” Balas Esther keras kepala.

Akhirnya Hye Jin hanya mengiyakan ucapan Esther. Lalu aku dipanggil oleh mama Hye Jin, tante Rachel. Rachel bercerai dengan Mr.Shim lalu menikah dengan orang Cina, mereka sudah punya anak tapi ditinggal di Cina.

Beliau berumur 40-an dan masih sangat gesit. Berkerja sebagai wedding organizer.

“Sini, sini. Menurut kamu Rae, bagusnya yang mana?” Tanya Rachel yang menolak dipanggil tante. Ia menunjuk tiga design wedding dress. Yang satu ceria dengan banyak sekali lipatan berbunga. Yang satu sangat elegan dengan lengan panjang dan memiliki ekor gaun yang dibuat seperti jubah. Yang terakhir fashionable. Lengan kirinya didesain seperti pita sedangkan yang kanan tidak berlengan. Gaunnya memiliki model mermaid tapi bagian pinggang sampai lutut dibuat berlipat.

“Yang ini.” Tunuj Hye Jin pada desain kedua. Tangannya dipukul pelan oleh Rachel.

“Tidak ada yang tanya kamu!” Ledek wanita itu.

“Semuanya bagus, tergantung pernikahannya berlangsung dimana. Kalau garden party yang pertama. Kalau indoor mungkin yang kedua sama ketiga. Tapi yang ketiga untuk outdoor juga bagus.” Ucapku sambil melayangkan pikiran ke novelku.

“Kalau kamu mau yang mana?” Tanya Rachel kini tersenyum padaku. Aku yang ditanya begitu hanya tersenyum. Hye Jin juga menatapku ingin tau.

“Yang kedua.” Ucapku.

“Serius? Bukan karena tadi Hye Jin bilang yang kedua?” Rachel menaikkan alisnya. Aku menggeleng pelan.

“Kalau aku married aku mau temanya itu ice. Jadi pasti indoor terus nanti jubah ininya kainnya tipis jadi hampir transparan. Terus dijahit manik manik. Gaunnya nanti ada glitternya, warna putih. Terus nan…” aku berhenti bercerita, mengetahui aku telah bicara aneh-aneh.

Hye Jin dan Rachel menatapku ingin tahu. Apa aku bicara terlalu banyak? Rachel tersenyum. “Its gonna be beautiful. ” aku hanya mengangguk malu.

23.15

Aku sudah kembali ke hotel. Hari ini menyenangkan sekali. Kalau semua itu nyata. Hye Jin sangat profesional dalam rencananya. Dia aktor yang baik.

Tapi aku bukan.

Semua tadi rasanya begitu menyenangkan. Begitu menyenangkan hingga aku tidak ingin semuanya palsu.

23.45

Aku harus tidur dan berhenti memikirkan kejadian hari ini. Besok aku masih harus bangun jam 9 dan mengantar kepergiaan Vagels.

The Party is about ………..

17.25

Aku sudah selesai dan jujur saja tidak berubah banyak dari awalnya. Hanya berganti rambut dan jerawatku tidak terlihat. Tapi karena Chelli tampak puas aku pun berpura-pura tersenyum.

Aku turun dan mendapati Hye Jin masih duduk disana, kali ini sudah memakai jas kemeja putih dan celana hitam. Disampingnya ada sehelai blazer berwarna hitam. Rambutnya yang lumayan panjang dibiarkan begitu saja.

Sebelum aku sempat berbicara Chelli sudah duluan berbicara pada Hye Jin dengan bahasa yang tidak kukenali. Tapi bukan bahasa Inggris karena aku pasti tau.

Setelah itu mereka berdua menatapku. Aku balik menatap mereka. Memangnya ada yang aneh denganku? Aku memang tidak cocok dengan dress-nya, dan rambutku pasti sangat aneh.

Hye Jin lalu bebicara pada Chelli sambil menunjukku. Chelli mengangguk-angguk lalu mengajakku kembali ke atas. Aku hanya mengikuti.

Chelli menggerai rambutku dan mulai mencatoknya. Aku lebih suka seperti ini, tergerai dan lurus. Rambutku biasanya bergelombang. Lalu ia menyuruhku untuk memilih baju yang dibawanya. Kebanyakan sangat glamor seperti baju yang kupakai.

Mungkin di imajinasimu muncul gadis mewah dengan baju anggun saat kukatakan dress. Tapi tidak, dress ini bercorak macan totol dan berbulu. Ketat dan aneh menurutku.

Aku akhirnya memilih sebuah dress putih polos dengan potongan menutup leher, tanpa tangan, tidak ketat dan tidak membentuk tubuh ( aku punya masalah dengan lemak di perutku ) dan panjangnya sampai selutut.

Awalnya Chelli menatapku tidak percaya. Kerutan di dahinya berlipat-lipat. Tapi akhirnya ia setuju dan menambahkan gliter disamping mata kiriku serta menebalkan eyelinerku menjadi model smoky. Aku merasa berbeda dari yang tadi. Tapi rasanya leherku terlalu polos.

18.05

Aku turun lagi. Kali ini Hye Jin tidak berkomentar dan beranjak dari sofanya ke luar. Dibawah, Chelli tersenyum padaku dan menyerahkan sepasang sepatu putih dan tas kecil yang juga berwarna putih. Aku berterimakasih dan memakainya. Setelah itu aku mengikuti Hye Jin kedalam mobilnya.

Kami melaju ke jalan raya. Keluar dari taman ini rasanya sudah memakan sepuluh menit. Tak berapa lama kemudian Hye Jin berhenti di depan sebuah toko perhiasan. Aku tidak protes, ia bukan membelikannya untukku namun untuk nama baiknya dalam keluarga.

Aku mengikutinya masuk ke dalam toko itu. Ia mengobrol dengan penjaga toko sambil menunjuk beberapa barang di etalase. Aku hanya duduk di bangku yang disediakan. Perhiasan bukanlah mainanku. Aku hanya suka cincin karena jariku lentik.

Hye Jin lalu memanggilku mendekatinya. Aku menghampirinya dan ia merangkulku seakan sudah biasa. Akupun bersikap biasa walaupun sedikit deg-degan juga.

Di depanku ada dua kalung yang disejajarkan. Aku menatap Hye Jin. Kukira ia akan memilihkannya untukku.

“Kamu aja yang pilih.” Ucapku pelan.

“Diliat aja cocok yang mana.” Ujar Yoon, nama gadis penjualnya itu sambil menarik sebuah kaca.

Hye Jin mengambil salah satu kalung di etalase. Aku reflex membelakanginya dan menyampingkan rambutku. Sedetik kemudian aku sadar aku tidak sedang membeli perhiasan dengan eonni. Saat aku hendak berbalik Hye Jin sudah duluan mengalungkan kalung itu dan memasangnya. Dari kaca aku bisa melihat ia tersenyum. Pipiku memerah.

“Dasar manja.” Candanya pelan masih dengan senyumnya.

“Yaudah aku pake sendiri.” Ucapku melepas kalung itu dan mengambil satunya.

“Sini aku pakein.” Ujar Hye Jin merebut kalung itu dariku. Aku menggeleng dan tidak berbalik. Dari sudut mataku, sang penjaga toko sedang menahan tawa.

“Nggak, sini.” Balasku meminta kalung itu darinya. Ia menggeleng lalu maju selangkah dan menunduk untuk memakaikan kalungku dari depan. Aku yang kaget hanya diam.

Aku bersumpah bahwa aku mengira ia akan memelukku. Ia lalu mundur selangkah dan fokus pada kalung yang kupakai dan yang sebelumnya. Sementara aku sibuk menenangkan diri.

“Yang ini lebih bagus ya?” Tanyanya sambil menunjuk leherku.

Yoon juga kembali fokus pada kalungku. Apa hanya aku yang terlalu over reacted? Lalu sebuah pikiran terlintas di benakku, aku mungkin bukan gadis pertama yang ia bawa kesini walaupun ini di Korea.

“Yang ini aja ya Rae?” Tanya Hye Jin sambil menunjuk kalung yang kupakai. Aku mengangguk saja dan berjalan disampingnya menuju tempat gelang.

Ia memandangi ke dalam etalase selama Yoon menjelaskan gelang-gelang itu. Aku hendak berbalik tapi ia menahan tanganku, bahkan tanpa melihat Ia menarikku pelan dan merangkulku. Siapa yang menjadi manja sekarang?

Kali ini ia hanya memilih satu dan menyuruhku untuk langsung memakainya. Aku menurut dan setelah ia membayar kami masuk ke mobilnya.

“Thanks, walaupun cuma buat malam ini.” Ucapku menunjuk kalung dan gelang yang kupakai.

“Memang untukmu kok.” Ujarnya.

“Nggak ah, kasih pacarmu yang lain aja.” Candaku walaupun ia tidak tertawa.

Tidak sampai sepuluh menit kemudian kami sudah sampai di sebuah rumah. Rumah itu terletak di dalam sebuah komplek perumahan yang mewah. Kami turun di rumah yang indah, terbuat dari kayu dan sangat menonjolkan aspek nature.

Dari luar, suasananya sangat alami dan hangat, tapi saat aku masuk kedalam begitu banyak orang yang berkumpul, perasaanku menjadi tertekan. Kukira ini hanya acara keluarga, kenapa banyak sekali orang yang berkumpul?

“Happy Birthday Shim Hye Jin!” Teriak beberapa anak kecil yang mengerumuninya. Aku terdiam seketika, aku tidak tau kalau ia hari ini ulang tahun. Ia tersenyum padaku dan mencium pipiku. Aku berpura pura tertawa dan bertepuk tangan.

Hye Jin..

Aku terbangun diatas ranjangku dengan catatan kecil tertinggal di meja disamping ranjang. Ditulis dengan hangeul kecil-kecil dan rapi.

“Maaf aku tertidur tadi malam, aku sudah berangkat ke JL. Hari ini kami sangat sibuk, tidak usah datang. Kamu akan bosan. Arigatou Rae-chan.” Tulis Jun. Kalimat terakhir ditulisnya dengan alfabet.

Hal kedua yang kulakukan setelah bangun adalah mengecek handphoneku. Ada dua pesan, Hye Jin dan Momo-san.

“Kapan kembali ke Japan? Aku ingin membicarakan masalah ini. Aku punya rencana.” Dari Hye Jin. Aku membalasnya dengan tanggal kepulanganku lalu membuka sms Momo-san.

“Aku memberitau Hye Jin kamu di Korea. Tenangkan dirimu dan berfikirlah dengan jernih. Miss you.” Tulis editor kesayanganku itu. Aku membalas sms-nya dengan jawaban iya dan miss you too.

Setelah menimbang-nimbang sebentar aku akhirnya mengirim sms pada Hyeon.

“Hyeon-chan, kamu dirumah Mai kan? Jangan kembali ke rumah sebelum aku pulang. Jangan lupa kuliah hanya karena masalah ini. Jaga dirimu baik-baik, aku akan segera pulang.” Tulisku lalu menekan tombol send.
11.45

Aku membeli beberapa snack khas Korea dan juga kain bercorak Korea. Snack untuk Momo-san, kain untuk Hyeon dan Mai. Setelah itu aku kembali ke hotel.

Di Lobby banyak sekali orang-orang yang berkumpul. Setelah menaruh mobil di basement aku berusaha naik ke lift. Aku diijinkan masuk ke lift setelah menunjukkan kartu kamar hotelku.

Aku masuk dan menemukan pria berkacamata hitam dan berpakaian layaknya model duduk di sofa. Hye Jin.

“Apa?” Tanyaku padanya.

“Terlalu lama menunggumu kembali ke Jepang.” Jawab pria itu sambil menaruh kacamatanya di meja kecil.

Aku menaruh barang-barang yang kubeli disamping koperku dan duduk di atas ranjang, sengaja menjauhinya.

“Jadi, bagaimana caramu untuk menghapuskan berita ini?” Tanyaku.

“Kita berpura-pura pacaran. Lalu katakanlah kau cemburu pada kehidupanku sebagai model dan kita break up.” Jawabnya lancar.

“What? Nggak! Memangnya aku cemburuan apa? Gimana kalau kamu selingkuh dengan salah satu model lalu aku marah dan kita break?” Aku jelas tidak akan setuju pada ide bahwa aku cemburu.

“Aku tidak pernah selingkuh!” Ucap Hye Jin.

“Aku tidak akan cemburu dengan alasan seperti itu!” Balasku menantang.

“Baiklah. Kalau gitu aku terlalu sibuk dengan perkerjaanku, kau juga sibuk dengan bukumu, lalu kita bisa berpisah dengan alasan terlalu sibuk. Gimana?” Tanyanya memberi solusi yang lebih baik.

“Ok.” Ucapku setuju.

“Bagaimana kalau kita berjalan-jalan sebentar? Aku meluangkan waktu untuk datang kesini, luangkanlah waktu denganku.” Perintah Hye Jin acuh tak acuh.

Aku menghembuskan nafas dan mengangguk. “Baiklah, ayo turun.” Ajakku sambil berjalan ke pintu. Ia bangun dan mengikutiku.

“Ok babe, let’s do this.” Ucapnya dengan aksen english yang lumayan.

“Babe? Uhh.. Jangan aneh-aneh deh.” Ucapku sambil membuka pintu dan berjalan duluan ke lift. Tepat sekali saat itu lift terbuka, seorang pria keluar dari sana sambil memandangi kami. Aku cepat-cepat masuk lift, tangan Hye Jin menahan tanganku.

“Kamu jalan terlalu cepat, tunggulah aku.” Ucap pria itu dengan senyum aktingnya. Mungkin untuk pria yang masih memandangi kami dari jauh.

Aku memalingkan wajah dan melepaskan tangannya. Hanya satu orang Korea, lagipula ekspresinya seakan mengejekku. Aku masuk ke dalam lift dan memencet tombol turun.

“Rae-chan, kamu marah karena aku kesini?” Tanya pria itu lembut. Aku menggeleng, tapi menatap ke arah lain.

“Kamu ngambek?” Tanya Hye Jin lagi. Aku menggeleng.

Sebuah kecupan mendarat di pipiku. Lembut dan hangat, hatiku bergejolak dibuatnya. Aku menatap Hye Jin sengit.

“Apa-apaan sih!” Bentakku sambil mendorongnya. Aku bisa merasakan pipiku memanas dan wajahku memerah. Tapi aku tetap menatapnya kesal.

“Kamu tidak ingin melihatku.” Pria itu masih tersenyum. Tapi kesedihan tampak jelas di matanya. Dasar aktor! Aku sedikit tidak tega tapi memalingkan wajah juga. Ia lalu terdiam. Marah betulan kah ia sekarang?

“Aku tidak marah karena kamu ke Korea.” Ucapku pelan seiring dengan dibukanya lift. Awalnya tidak ada yang menyadari, namun mereka mengambil beberapa foto. Hye Jin menarik tanganku dan brgerak cepat keluar lobby. Untung banyak satpam yang membantu.

Sebuah mobil hitam terparkir di depan lobby. Hye Jin membukakan pintu untukku dan segera masuk setelah aku masuk.

“Kamu penulis novelkan? Pikirkanlah sebuah skenario, apa saja.” Ucapnya pelan sambil memandang keluar jendela. Nadanya sedikit memaksa membuatku kesal dan pura-pura tidak mendengar.

Kami tidak kemana-mana, hanya mengitari Seoul dalam diam. Kadang-kadang ia mengomel karena macet.

Satu jam, dua jam, aku mulai merasa pengap di dalam mobil.

“Kamu mau kemana sih?” Tanyaku sedikit kesal.

“Sepuluh menit lagi.” Jawabnya sambil tersenyum kecil keluar jendela.

Senyumnya seakan meledekku, apalagi yang ia pikirkan? Skenario lain lagi? Aku hanya menatap langit dan sekitar kami. Pemandangannya seakan kami menjauhi Seoul. Korea adalah tempat yang indah.

“Korea, menakjubkan ya? Indah sekali.” Gumam Hye Jin pelan.

Kami akhirnya sampai di sebuah taman yang sangat luas. Beberapa bangunan kecil menghiasi taman itu.

“Kita dimana?” Tanyaku.

“Di rumah temanku.” Ucapnya sambil tersenyum ke luar. Tak berapa lama kami sampai di depan sebuah rumah kecil berkaca transparan. Rumah itu berwarna putih gading dan aku bisa melihat isi seluruh lantai satu. Semua perabotannya juga berwarna putih. Hye Jin lekas turun.

Aku memandang kesekelilingku dengan kagum. Tempat ini sangat indah dengan banyaknya bunga-bunga yang ditanam. Pohon-pohonna juga menjulang tinggi. Selain rumah ini ada beberapa rumah lain yang berjauhan. Yang terdekat seperti rumah kaca. Yang berada di ujung terbuat dari kayu sehngga aku tidak tau apa isinya.

Hye Jin sudah berjalan masuk, jadi aku tidak bisa lama-lama. Akupun mengikutinya masuk dan duduk di sofa. Beberapa detik setelah duduk aku merasakan handphone- ku bergetar, tanda ada sms yang masuk.

“Apa yang terjadi dengan Hye Jin? Besok aku akan berangkat jam 11 di XX airport.” Dari Jun.

Aku tersenyum, aku bahkan belum memberitau Momo-san, tapi sepertinya ia sudah lebih tau duluan. Tapi aku tidak keberatan memberitahunya.

Lalu Hye Jin tiba-tiba menarik handphoneku. Aku mencoba menggapai, tapi terlambat.

“Yaa! Kembalikan!” Ujarku dengan kesal.

“Hmm.. Apa yang membuatmu tersenyum sih?” Tanyanya dengan nada bercanda. Ia membaca handphone-ku. Aku bertanya-tanya apa ia bisa bahasa Korea.

“Tidak ada urusannya denganmu.” Bentakku sambil berusaha menarik handphone itu dari tangannya. Tapi dengan tingginya yang diatas 180cm aku tidak bisa menggapai tangannya.

“Memangnya kau tadi dengar aku bicara apa?” Tanyanya masih tersenyum. Aku yang memang tidak mendengar hanya bisa diam.

“Nah tidak dengar kan? Yang lebih muda seperti-mu harusnya mendengarkan yang lebih tua.” Ledeknya lalu mengembalikan handphoneku.

“Baiklah, tadi memangnya kau bicara apa?” Aku mengalah dan kembali duduk di sofa, mengamankan handphoneku.

“Nanti malam akan ada acara di dekat sini dan itu semacam acara keluargaku. Ini masih jam tiga, kau bersiap-siaplah.” Ucapnya mengulangi perkataannya sebelumnya.

“Selamat siang.” Seorang wanita dengan rambut pirang yang dikuncir kesamping muncul dari atas. Wanita itu tampak cantik walaupun gayanya sederhana dan ia sudah terlihat tua.

“Saya stylist anda. Mari saya bantu bersiap-siap.” Ucap wanita berdarah Belanda (tebakanku) itu.

Aku menatap Hye Jin kurang yakin lalu beranjak ke atas juga. Ia hanya tersenyum sambil melambaikan tangan. Baru saja kupikir untuk berhenti ngambek karena ia tiba-tiba datang ke Korea, ia sudah memberiku tugas aneh lagi.

Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Rachelline atau Chelli. Setelah aku mandi ( dan membalas sms Jun ) dan berganti baju, ia menyuruhku memakai ini itu ( body lotion, minyak zaitun, dan sebagainya. ) lalu memakaikan make-up setelah itu mengatur rambutku.

 

Thankyou Jun

Aku terbangun dengan tiga sms di handphoneku ; Hyeon, Hye Jin, dan Jun.

“Eonni maafkan aku. Aku sudah bilang yang sebetulnya pada Hye Jin…..” Tulis Hyeon. Aku tidak membalasnya, katakanlah aku kekanak-kanakan. Tapi aku tidak menyukai caranya.

“Oh jadi begitu. Tapi aku tidak bisa dengan tiba-tiba membatalkan semuanya seperti itu. Nama ku bisa tercoreng.” Dari Hye Jin. Aku juga tidak membalas pesannya.

“Maaf noona tadi sudah membawamu, eh malah merepotkan. Hm.. Noona pacar Leon DW?”Dari Jun. Aku segera membalasnya.

“Bukan. Itu kesalahan keponakkanku, panjang ceritanya. Aku juga baru tau hari ini. Tidak apa-apa, maaf aku pulang hanya meninggalkan sms. Semuanya terjadi begitu cepat.” Aku memberinya penjelasan singkat yang panjang.

Aku merasakan perutku mulai lapar. Jam berapa ini? Aku mengecek handphoneku, 11.25 sudah larut sekali. Aku memesan makanan.

“Belum tidur? Kami baru saja selesai latihan.” Balas Jun.

“Baru terbangun, tadi malah sengaja tidur.” Balasku.

“Sepertinya masalah itu berat sekali. Kamu tau kamu bisa cerita padaku kapan saja.” Balasnya.

“Aku tidak tau harus mulai darimana.” Aku tidak biasanya seterbuka ini. Aku hanya butuh teman. Ucapku meyakinkan diri sendiri.

“Aku akan kesana, pesankan makanan untukku ya noona.” Balasnya memutuskan sendiri seenaknya.

“Kamu butuh istirahat pergilah pulang dan jaga dirimu.” Balasku munafik. Padahal aku sendiri sangat menyetujui gagasannya. Tapi aku tidak bisa berbuat seegois itu kan?

“Aku bisa jaga diri disana.” Balas Jun keras kepala. Tapi aku dengan egoisnya merasa senang.

“Jangan kesini sudah tidak ada bus.” Balasku munafik.

“Terlambat sekali. Tunggu aku lima menit, aku sudah ada disana.

“Keras kepala.” Balasku walaupun aku senang dia mau datang, senang sekali malah.

“Memang.” Balasnya. Aku tidak membalas lagi dan memesankannya makanan juga. Tak berapa lama makananku sampai, disusul dirinya dua menit kemudian.

“Hai Rae.” Sapanya saat masuk sambil melepas jaketnya. Rambut merahnya masih sedikit berkeringat.

“Sudah dibilang jangan kesini.” Ujarku sambil menutupi senyumku dengan menyalakan TV.

“Disitu kau menulis?” Tanyanya sambil menunjuk laptop kesayanganku. Aku mengangguk.

“Serius deh, pria dan wanita dalam satu kamar hotel bukan sesuatu yang etis.” Ujarku serius. Tapi Jun hanya tersenyum seperti anak kecil lalu berjalan ke balkon yang jarang sekali kutempati.

“Sini Rae, dengan begitu kita tidak dalam kamar lagi.” Ajaknya sambil duduk santai di lantai kayu balkon itu.

“Heii, kau lebih muda dariku tau.” Omelku tapi duduk juga di sampingnya.

“Baiklah noona.” Balasnya.

“Jadi ada apa? Kau tiba-tiba berteriak ‘apa’ dengan sangat kencang lalu saat Lee mengecek keluar kau tidak ada. Lalu tiba-tiba aku medapat pesan bahwa kamu pulang.” Tanya Jun panjang lebar. Aku lebih suka mendengarkan suaranya daripada bicara padanya, tapi ia sudah datang disini.

Aku menceritakan semuanya, pertemuan dengan Hye Jin kedatangannya kerumah, intinya semuanya. Jun tidak menyela ceritaku, hanya menatapku serius. Sampai aku berhenti berbicara.

“Selesaikanlah dengan baik-baik noona. Setelah trip ini berakhir, bicarakan saja dengan kepala dingin. Pasti ada solusi memungkinkan dari kejadian ini.” ucapnya.

“Gadis itu, kau tidak ingin menyakitinya kan?” Lanjut Jun lagi.

Jun benar, aku harusnya menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin. Bukannya frustasi dan membuat Hyeon takut. Aku menyayangi Hyeon bagaikan adikku dan tidak ingin melukainya. Aku terdiam.

“Pikirkan cara terbaik, minum pil tidur tidak akan mengubah apapun, bahkan tidak menyelesaikan masalah. Hoaamm….” Ucapnya pelan. Ia bahkan menguap dan bersandar padaku. Dari dekat aku bisa melihat kantung matanya. Ia pasti sangat lelah, tapi masih datang kesini.

“Aku tidak minum pil tidur.” Ucapku pelan sekali, takut mengganggunya.

“Hmm..” Ia mengumam dan terlelap seperti anak kecil.

Aku memeluk lututku dalam kebimbangan. Rambut merahnya sedikit menggelitik leherku tapi aku berusaha tidak memperhatikan rambutnya atau jantungku yang berdetak sangat kencang.

Mungkin efek cokelat, pikirku menyangkal ketertarikanku pada Jun. Kemungkinan karena tadi habis makan cokelat juga sih, lagipula umur kami berbeda dua tahun.

Aku menatap wajahnya yang terlihat semakin lelah dengan kantung mata dan nafas yang berat. Aku mengelus rambut merahnya, aku menyukai merah. Terimakasih Jun.

Aku menghembuskan nafas dan menyandarkan kepalaku diatas kepalanya. Aku merasa sangat nyaman dan tertidur walaupun aku sebetulnya baru terbangun beberapa menit yang lalu. Aku mulai yakin aku memang kebo.Aku terbangun dengan tiga sms di handphoneku ; Hyeon, Hye Jin, dan Jun.

“Eonni maafkan aku. Aku sudah bilang yang sebetulnya pada Hye Jin…..” Tulis Hyeon. Aku tidak membalasnya, katakanlah aku kekanak-kanakan. Tapi aku tidak menyukai caranya.

“Oh jadi begitu. Tapi aku tidak bisa dengan tiba-tiba membatalkan semuanya seperti itu. Nama ku bisa tercoreng.” Dari Hye Jin. Aku juga tidak membalas pesannya.

“Maaf noona tadi sudah membawamu, eh malah merepotkan. Hm.. Noona pacar Leon DW?”Dari Jun. Aku segera membalasnya.

“Bukan. Itu kesalahan keponakkanku, panjang ceritanya. Aku juga baru tau hari ini. Tidak apa-apa, maaf aku pulang hanya meninggalkan sms. Semuanya terjadi begitu cepat.” Aku memberinya penjelasan singkat yang panjang.

Aku merasakan perutku mulai lapar. Jam berapa ini? Aku mengecek handphoneku, 11.25 sudah larut sekali. Aku memesan makanan.

“Belum tidur? Kami baru saja selesai latihan.” Balas Jun.

“Baru terbangun, tadi malah sengaja tidur.” Balasku.

“Sepertinya masalah itu berat sekali. Kamu tau kamu bisa cerita padaku kapan saja.” Balasnya.

“Aku tidak tau harus mulai darimana.” Aku tidak biasanya seterbuka ini. Aku hanya butuh teman. Ucapku meyakinkan diri sendiri.

“Aku akan kesana, pesankan makanan untukku ya noona.” Balasnya memutuskan sendiri seenaknya.

“Kamu butuh istirahat pergilah pulang dan jaga dirimu.” Balasku munafik. Padahal aku sendiri sangat menyetujui gagasannya. Tapi aku tidak bisa berbuat seegois itu kan?

“Aku bisa jaga diri disana.” Balas Jun keras kepala. Tapi aku dengan egoisnya merasa senang.

“Jangan kesini sudah tidak ada bus.” Balasku munafik.

“Terlambat sekali. Tunggu aku lima menit, aku sudah ada disana.

“Keras kepala.” Balasku walaupun aku senang dia mau datang, senang sekali malah.

“Memang.” Balasnya. Aku tidak membalas lagi dan memesankannya makanan juga. Tak berapa lama makananku sampai, disusul dirinya dua menit kemudian.

“Hai Rae.” Sapanya saat masuk sambil melepas jaketnya. Rambut merahnya masih sedikit berkeringat.

“Sudah dibilang jangan kesini.” Ujarku sambil menutupi senyumku dengan menyalakan TV.

“Disitu kau menulis?” Tanyanya sambil menunjuk laptop kesayanganku. Aku mengangguk.

“Serius deh, pria dan wanita dalam satu kamar hotel bukan sesuatu yang etis.” Ujarku serius. Tapi Jun hanya tersenyum seperti anak kecil lalu berjalan ke balkon yang jarang sekali kutempati.

“Sini Rae, dengan begitu kita tidak dalam kamar lagi.” Ajaknya sambil duduk santai di lantai kayu balkon itu.

“Heii, kau lebih muda dariku tau.” Omelku tapi duduk juga di sampingnya.

“Baiklah noona.” Balasnya.

“Jadi ada apa? Kau tiba-tiba berteriak ‘apa’ dengan sangat kencang lalu saat Lee mengecek keluar kau tidak ada. Lalu tiba-tiba aku medapat pesan bahwa kamu pulang.” Tanya Jun panjang lebar. Aku lebih suka mendengarkan suaranya daripada bicara padanya, tapi ia sudah datang disini.

Aku menceritakan semuanya, pertemuan dengan Hye Jin kedatangannya kerumah, intinya semuanya. Jun tidak menyela ceritaku, hanya menatapku serius. Sampai aku berhenti berbicara.

“Selesaikanlah dengan baik-baik noona. Setelah trip ini berakhir, bicarakan saja dengan kepala dingin. Pasti ada solusi memungkinkan dari kejadian ini.” ucapnya.

“Gadis itu, kau tidak ingin menyakitinya kan?” Lanjut Jun lagi.

Jun benar, aku harusnya menyelesaikan masalah ini dengan kepala dingin. Bukannya frustasi dan membuat Hyeon takut. Aku menyayangi Hyeon bagaikan adikku dan tidak ingin melukainya. Aku terdiam.

“Pikirkan cara terbaik, minum pil tidur tidak akan mengubah apapun, bahkan tidak menyelesaikan masalah. Hoaamm….” Ucapnya pelan. Ia bahkan menguap dan bersandar padaku. Dari dekat aku bisa melihat kantung matanya. Ia pasti sangat lelah, tapi masih datang kesini.

“Aku tidak minum pil tidur.” Ucapku pelan sekali, takut mengganggunya.

“Hmm..” Ia mengumam dan terlelap seperti anak kecil.

Aku memeluk lututku dalam kebimbangan. Rambut merahnya sedikit menggelitik leherku tapi aku berusaha tidak memperhatikan rambutnya atau jantungku yang berdetak sangat kencang.

Mungkin efek cokelat, pikirku menyangkal ketertarikanku pada Jun. Kemungkinan karena tadi habis makan cokelat juga sih, lagipula umur kami berbeda dua tahun.

Aku menatap wajahnya yang terlihat semakin lelah dengan kantung mata dan nafas yang berat. Aku mengelus rambut merahnya, aku menyukai merah. Terimakasih Jun.

Aku menghembuskan nafas dan menyandarkan kepalaku diatas kepalanya. Aku merasa sangat nyaman dan tertidur walaupun aku sebetulnya baru terbangun beberapa menit yang lalu. Aku mulai yakin aku memang kebo.

Masalah di Rumah… Lagi.

Aku langsung menjawab teleponku dan beranjak keluar dari ruangan itu. Lalu berlari lagi keluar dari ruang latihan mereka.

“Moshimo–”

“Keadaan kacau parah, Leon mengklaim kamu memanglah kekasihnya! Apa-apaan ini?!” Teriak Momo-san frustasi kepadanya setelah memotong ucapannya.

“APA?!” Bentak Rae lalu berjalan ke kamar kecil terdekat dan masuk ke salah satu biliknya sambil mendengarkan Momo-san.

“Karena berita begitu ribut, Leon akhirnya membuat konferensi pers yang menyatakan kalian memang kekasih! Katakan padaku itu tidak benar Kang Hwa Rae.” Ujar Momo-san seakan menuduhku.

“Tentu saja TIDAK!” Ia menekankan kata tidak, lalu melanjutkan.

“Aku tidak bertemunya, menghubunginya tau apapun selama dua minggu. Bagaimana mungkin aku pacaran dengannya? Atas dasar apa ia berkata aku kekasihnya? Di depan seluruh media pula!” Bentakku tidak kalah kesal dengan Momo-san.

“APA?!” Teriak Momo-san.

“Jadi dia menyebarkan kabar palsu?!” Tanya momo-san lagi.

“YA!” Teriakku emosi dengan sedikit pelan.

Klik.

Sambungan itu diputus begitu saja. Aku setengah kesal mengirim sms pada Hye Jin.

“Are you crazy? Sejak kapan kita jadian?? Jangan bikin gosip! Saya bisa tuntut kamu atas nama pencemaran nama baik!” Tulisku dan langsung mengirim pesan itu pada Hye Jin.

Aku juga mengirim pesan untuk Jun dan Zac bahwa aku harus pulang karena insiden mendadak. Di dalam bus sebuah sms datang, dari Hyeon.

“Eonni, semua itu salahku! Gimana nih?? Aku gatau akan jadi sebesar ini….” Ucap Hyeon.

Tanpa pikir panjang aku meneleponnya.

“Moshimoshi…” Jawab Hyeon lemah.

“Maksud kamu apa?” Tanyaku menahan amarah karena masih berada di bus.

“Jadi gini.. Aku bingung gimana jelasinnya..” Ucap Hyeon lemah. Ada sesuatu yang Hyeon sembunyikan dariku.

“Tunggu sampai aku sampai di hotel.” Ucapku masih menahan amarah.

Sepuluh menit kemudian aku sudah dalam jalan menuju hotelku. Lima menit jalan kaki dan aku sampai di dalam lobby. Menghiraukan sapaan resepsionis aku menelepon Hyeon.

“Moshimoshi…”

“Jelaskan. Sekarang.” Perintahku tegas. Aku betul-betul kesal.

“ ….Jadi, dua minggu yang lalu aku minjem handphone Leon-san…… Terus ….. aku kirim sms ke … eonni. Terus ….. aku bales … pake handphone eonni….” Ucap Hyeon pelan sekali. Membuatku kehabisan kesabaran.

“Sms apa yang kamu kirim?” Tanyaku setengah membentak. Aku sudah berada di kamar hotelku sekarang.

“Apa kamu …. mau menjadi … kekasihku.” Jawab Hyeon takut-takut.

“APA?!”

Hyeon menceritakan caranya melakukan kejahilannya, memberitau Hye jin bahwa dia benar-benar bahagia, handphonenya mati karena rusak, lalu tiba-tiba gosip itu membesar.

Klik.

Aku mematikan handphoneku. Aku butuh waktu untuk menenangkan diriku sendiri. Waktu untuk sendiri. Setelah lima menit mondar mandir disekitar kamar aku akhirnya memutuskan untuk menelepon Momo-san saja.

“Moshimoshi..”

“Jadi aku harus gimana?” Tanyaku dengan suara serak, bahkan hampir menangis.

“Tenangin diri kamu dulu. Kamu bisa bikin konferensi pers setelah kamu kembali ke Jepang. Tapi kamu harus tenang, jangan emosi. Pertanyaan mereka bisa balik nyerang kamu.” Kali ini Momo-san berusaha menenangkannya. Suara wanita itu pelan dan lembut.

Klik.

Aku mematikan panggilan itu. Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku berjalan ke kamar mandi. Mungkin airnya bisa menenangkan pikiranku yang kusut.

Sehabis mandi aku tidak merasa ketenangan itu cukup. Aku selalu merasa gelisah dua kali saat aku tau aku gelisah. Sebuah penyakit mental mungkin. Aku memesan cokelat hangat dan kue coklat. Coklatlah yang sering membantuku melewati perasaan gelisah.

Setelah coklat-coklatku datang aku mencari musik menenangkan di handphoneku, lalu aku menyadari ini bukan handphoneku yang dulu. Bukan Iphone kesayanganku. Aku menyesali kenapa aku tidak memilih gadget yang bisa dimasukkan memorycard saja.

Setelah coklat mulai berkerja, aku merasa tenang. Aku mengambil posisi nyaman untuk tidur. Inilah yang dimaksud Momo-san dengan menenangkan diriku sendiri.

Ups.. Salah jadwal? :s

Waktu ku di Korea tinggal seminggu lagi. Novelku berjalan dengan baik. Tinggal menulis penyelesaian konflik dan ending saja. Hal itu ingin kubahas bersama Hyeon dan Mai karena aku menjanjikan hal itu dengan mereka.

Kringg Kringg

Aku mengangkat handphoneku. Dari nomornya itu nomor privat.

“Moshimoshi?” Tanyaku sopan.

“Apa itu?” Tanya seseorang bersuara halus dengan bahasa Korea. Suara yang ingin sekali kudengar belakangan ini. Jun.

“Oh kamu, tadinya kupikir orang Jepang.” Ucapku berusaha mengendalikan senyum yang merekah di wajahku.

“Ohh.. Ok,,” Balasnya pelan lalu hening. Keheningan itu membuatku tertawa pelan.

“Jadi ada apa meneleponku?” Tanyaku ringan.

“Kami ingin mengetahui kapan noona pulang, kami ingin membuat pesta perpisahan kecil-kecilan.” Ucap Jun polos dengan suara lembutnya.

“Minggu depan jam delapan pagi aku sudah berada di pesawat.” Jawabku sambil tersenyum.

“Cepat sekali.. Aku disuruh menjemputmu, kita merindukanmu.” Ucapnya lagi.

“Tidak usah, aku kesana saja tidak apa-apa.” Balasku cepat-cepat, mereka punya jadwal yang padat aku tak ingin menganggu.

“Aku sudah di depan pintu hotelmu noona, masa kamu masih ingin sendiri? Rae jahat.” Ejeknya terdengar mengambek. Aku setengah kaget membukakan pintu hotel untuknya. Betul saja, ia berdiri disana dengan topi dan hoodie untuk menutupi rambutnya yang berwarna merah. Mau tak mau aku tersenyum.

“Kalian tidak sibuk?” Tanyaku sambil menutup pintu setelah ia masuk.

“Lumayan sih, dua hari sebelum noona pergi kami ke Jepang untuk jumpa fans disana. Lalu ke Amerika dua hari kemudian saat noona sampai di Jepang. Kami cukup sibuk juga kira-kira.” Ujarnya panjang lebar seakan bicara sendiri. Aku hanya tersenyum.

Setelah berganti baju aku mengikutinya ke JL -tempat mereka latihan- Saat aku masuk mereka sedang membicarakan sesuatu yang serius dengan manajer derta CEO mereka.

“Rae-ssi ohayou. Jun baguslah kau sampai, kita sedang membahas suatu hal yang penting.” Ucap CEO dengan serius.

Keberangkatan mereka ke Jepang dipercepat dua hari lagi dan itu berarti waktuku bersama Jun semakin berkurang eh bersama Vagels.

Hari ini Jun dan Keito mati-matian latihan melatih dua lagu yang akan mereka bawakan berdua. Kedua lagu itu belum siap sama sekali dan waktu mereka tinggal tiga hari.

Sementara Jun dan Keito berlatih lagu mereka, Zac, Lee, Raven, dan Shin melatih dance mereka lagi. Cover dari idol band lain. Mereka bahkan menolak makan siang. Aku memesan makanan untuk mereka sejak tadi dan sudah menitip pesan pada resepsionis dibawah agar membawanya ke atas. Tapi makanan itu belum kunjung datang juga.

Disaat itu juga pintu terbuka sedikit, tidak ada yang menyadarinya kecuali aku. Seorang satpam mengantarkan makanan padaku. Aku berterimakasih dan memberinya sejumblah tip.

Aku menaruh makanan itu di ujung ruangan, masih bingung bgaimana cara menyuruh mereka makan. Bagaimanapun aku merasa tidak enak menganggu mereka.

Hampir satu jam kemudian barulah mereka berhenti menari dan duduk di lantai. Sedangkan Jun dan Keito masih belum berhenti bernyanyi.

“Tadi gerakan kita kurang sync di bagian 3” Ucap Zac setelah menegak habis sisa air minumnya.

“Dan saat masuk ke bagian 4 sangat kacau. Bagian pertama dan kedua sudah bagus.” Timpal Raven.

“Bagian 5 sampai akhir juga kacau semua. Padahal latihan pertama hanya kacau di bagian 6 kebelakang.” Balas Zac lagi.

Aku memberanikan diri mendatangi mereka.

“Kalian tidak ingin makan? Kalian belum makan siang..” Tanyaku pelan dan ragu.

“Sebetulnya kami malah belum sarapan.” Zac memberikan tanda V dengan jarinya sambil tersenyum.

“Yaa! Kalian sudah gila. Kalian harusnya makan dulu sebelum latihan tau!” Bentakku sambil berkacak pinggang.

“Hoohh… Senangnya ada yang memperhatikan kami.” Canda Raven diikuti Lee sambil tertawa. Aku memutar mataku dan menunjuk ke kantong plastik makanan.

“Aku sudah membelikan kalian makanan, mungkin sudah dingin sekarang tapi sebaiknya kalian makan sebelum aku mendapati kalian jatuh pingsan disini.” Ujarku cepat sambil berpindah ke ruang menyanyi yang ditempati Jun dan Keito.

“Jun? Keito?” Panggilku.

“Ya?” Jawab mereka hampir bberbarengan. Keduanya menatapku.

“Kalian butuh makan, aku sudah beli makanan untuk kalian.” Ucapku tetap pelan dan membuka pintu lebar-lebar untuk mereka. Mereka bersemangat keluar dan berkumpul di dekat yang lainnya. Mereka makan di tengah ruangan.

“Kalian tidak boleh lupa sarapan atau makan siang tau.” Ujarku lembut dan pelan.

Zac mengangguk-angguk, “Seharusnya noona menjadi manajer kami. Arigatou gozaimasu.” Ucapnya mencampur bahasa Korea dengan Jepang.

“Arigatou!” Ucap yang lainnya hampir bersamaan. Raven bahkan mengancungkan jempol untukku. Aku jadi merasa malu sendiri dan akhirnya keluar dengan alasan ingin membeli minum.

Aku berjalan supermarket terdekat, 5 menit jalan kaki, membeli beberapa botol air mineral tidak dingin dan kembali ke JL. Saat aku masuk mereka sudah mulai berlatih lagi.

Aku menaruh setengah botol minuman itu di tempat dekat botol botol minuman mereka yang hampir kosong. Setelah itu
menaruh setengahnya di ruangan Jun dan Keito. Karena suara mereka aku akhirnya tertarik untuk mendengarkan mereka.

Mereka menyanyikan salah satu lagu bernada tinggi karya Beyonce dan satu lagi lagu lama Jepang karya Utada Hikaru.

Kriingg Kriingg

VAGELS !!

Pagi ini aku bersiap-siap ke XX mall untuk menonton pertunjukan mereka tampil disana. Zac sudah mewanti-wantiku di sms agar aku datang dan melihat mereka.

“Noona! Datang ke pertunjukan kami ya di XX mall jam 11.00am. Harus datang, biasanya kamu cuma melihat kami latihan saja, kami sudah menyempurnakan hasil latihan dan akan menjadi lebih keren daripada saat noona melihat kami latihan.”

Pesan yang panjang memang, tapi aku senang mendengar mereka sangat bersemangat setelah dua hari liburan dan satu hari latihan seharian.
Tanpa terasa tiga hari telah berlalu tanpa ada kejadian yang berarti. Itu berarti sisa waktuku menjadi tinggal 12 hari lagi setelah hari ini berakhir.
Aku mengenakan arloji cokelat kesayanganku. Jam sudah menunjukan pukul 10.15 aku mengambil kunci mobilku dan mulai berangkat.
Aku akhirnya sampai di mall yang hall nya dipenuhi ratusan gadis-gadis yang berteriak ke arah panggung. Aku mengecek arlojiku, pukul 10.55 seharusnya mereka belum tampil kan? Dengan tubuhku yang lumayan kecil sangat sulit bagiku untuk melihat ke panggung. Jadi kuputuskan untuk naik ke lantai dua dan mencari tempat yang muat untukku.

Lantai dua juga hampir sama penuhnya, aku naik ke lantai tiga dan aku akhirnya berhasil menemukan tempat juga, sayangnya tempat itu membelakangi panggung.
Ternyata memang bukan mereka yang tampil. Setelah group idol beranggotakan empat orang itu selesai MC segera menanyai mereka, 11.05 dan mereka belum selesai mengobrol hingga akhirnya group itu bilang mereka masih punya job lain.

Beberapa detik kemudian masuklah mereka, Vagels dengan jas hitam. Aku tidak bisa mengenali siapa itu siapa karena mereka mengecat rambut mereka. Dan dari lantai tiga, mengenali mereka rasanya sulit. Apalagi mereka membelakangiku.

Mereka segera memulai pertunjukan mereka, semuanya begitu keren dan terasa ajaib. Aku memang mengenali beberapa gerakan yang mereka latih tapi secara keseluruhan mereka sangat menakjubkan. Aku rasa aku mengenali suara Jun yang unik ketika ia menyanyi. Si rambut merah kah Jun itu? Berarti yang berambut perak itu pasti Shin dan kembar pirang itu pasti Raven dan Lee. Sedangkan aku tidak tau yang mana Zac dan Keito. Antara yang cokelat atau yang biru.
Setelah mereka selesai para gadis disekitarku berteriak kencang sekali meneriakan nama mereka. MC segera menyuruh mereka tenang dan menanyai para Vagels.

“Ini baru bulan pertama sejak debut kalian dan hari kedua setelah peluncuran single kedua kalian. Dan kalian terlihat senang sekali, ada yang ingin disampaikan?” Tanya MC itu.

“Ya, kami sangat senang bahwa single kami yang pertama sangat disukai. Terimakasih untuk semuanya! Saranghaeyo!” Ucap si rambut biru yang kukenali sebagai suara Zac.

“Saranghaeyo!” Ucap kedua pirang, Raven dan Lee sambil membentuk hati dengan tangan mereka.

“Saranghaeyo!” Ucap Ken setelah itu Shin sambil berpose konyol dengan jari dibentuk huruf V.

“Saranghamnida.” Ucap Jun sambil membungkukkan badannya. Walaupun suaranya sangat pelan dan ia memilih bahasa formal, tapi mengundang lebih banyak teriakan dari para gadis. Aku hanya bisa tertawa sambil menutup telingaku. Entah dia sangat pintar berakting atau hanya memang seperti itu cara membuat gadis-gadis menyukainya.
Setelah suasana kembali tenang -walaupun tetap berisik- MC mulai bertanya lagi.

“Ada seseorang yang ingin diucapkan terimakasih?”

“Ya, pertama-tama untuk semua fans! Untuk CEO kita, manajer kita, keluargaku, noona, hyung, umma, aku sangat mencintai kalian.” Ucap Zac duluan seperti biasa.

“Untuk para stylist kami juga.” Tambah Raven.

“Dan untuk noona yang berumur 26 tahun.” Ucap Jun tiba-tiba, membuatku tertawa sementara para gadis bingung selama beberapa saat lalu mengira itu noona Jun yang berumur 26 tahun juga.

11.35 dan mereka akhirnya turun dari panggung setelah ditanyai hal-hal tidak menarik oleh MC seperti apa cita-cita mereka waktu kecil, kartun kesukaan, penyanyi favorit dan sebagainya.

Zac mengirimiku pesan lagi

“Noona dimana?” Tanyanya.

“Di lantai tiga. Kalian keren sekali, awalnya aku sampai tidak mengenali kalian tapi kalian sangat keren dengan rambut seperti itu.” Jawabku.

“Thank you noona, kami semua senang membacanya hehe. Jadwal kami akan sangat sibuk setelah peluncuran single kami kemarin. Kami akan sering tidak berada di gedung JL untuk berlatih.” Jawab Zac panjang lebar.

“Tidak apa-apa, aku sudah membutuhkan semua bahan yang kuperlukan kok. Terimakasih telah membantu selama beberapa hari ini. Figthing!” Balasku lagi. Sayang sekali tidak bisa bertemu mereka lagi.

Aku berjalan-jalan sebentar di sekitar mall dan pulang sekitar dua jam kemudian. Aku kembali mengetik dan mengetik tanpa henti. Aku ingin novelku secepatnya selesai.

Jun….

Akhirnya kami semua sampai di gedung practice vagels. Hari itu kami sangat bersenang-senang. Mulai dari bungee jumping, sampai hanya sesimpel berjalan-jalan di pinggir pantai lalu acara minum-minum yang tidak diikuti para Vagels dan aku.

“Malam ini kami pulang ke ******” ucap Lee sambil merangkul Raven. Ternyata mereka tinggal di daerah yang sama.

“Aku ingin ke rumah saja, rumah ku di Seoul.” Timpal Zac sendirian.

“Aku akan ke *****!! Woohh!” Teriak Shin menyebut salah satu tempat tidak baik tapi lalu mendapat jitakan dari Keito.

Kita bercanda beberapa saat sebelum akhirnya mulai larut malam dan kami memutuskan untuk pulang saja.

“Jun, antar Rae-ssi ke apartmentnya ya? Kunci manajer ada di kamu kan?” Perintah Zac sambil meninggalkan kami duluan.

“Waahh… Kau tidak ingin protes?” Tanya ku sambil memprovokasi Jun. Tadi saat kami mengobrol Jun sempat berbicara, tapi tak banyak.

“Tidak apa apa. Ayo pulang.” Ajaknya dengan suaranya yang lembut dan pelan sambil ikut berjalan keluar. Entah keberanian darimana, aku menahan tangannya.

“Apa?” Tanya Jun sambil berbalik kearahku. Tiba-tiba aku sendiri bingung mau berkata apa. Lalu aku memberanikan diri.

“Apa kamu membenciku?” Tanyaku langsung. Ia berkedip-kedip beberapa kali sebelum menggeleng.

“Bukan begitu, aku hanya tidak terbiasa.” Ucapnya pelan dan tidak jelas. Aku melepaskan tangannya dengan enggan.

Jun masuk ke mobil duluan dan aku mengikutinya. Ia menyalakan mesin dan AC. Aku hanya memandang keluar jendela. Keheningan seperti ini seringkali kurasakan. Namun entahlah, aku tidak menyukainya.

“Noona seorang penulis kan?” Tanya Jun tiba-tiba.

“Iya.” Jawabku singkat karena tidak tau harus membalas apa.

“Apa yang akan noona tulis tentang kami?” Tanyanya lagi.

“Aku menulis novel, aku berimajinasi tentang seorang pria dan wanita. Mereka akan jatuh cinta dan sebagainya.” Jawabku berusaha mengusir kecanggunggan.

“Hoohh.. Jadi untuk apa noona mengobservasi kami?” Tanyanya kali ini menoleh ke arahku dengan ekspresi bingung. Aku tertawa kecil.

“Aku tidak tau apa yang harus kutulis tentang si pria, jadi manajerku mengirimku ke sini dan mengobservasi kalian.” Jawabku ringan. Mungkin ia tak segalak itu. Jun terlihat lucu juga saat menyebutkan noona dan menatapku dengan ekspresi bingung.

“Penulis juga punya manajer?” Tanyanya lagi. Ia mulai terlihat seperti anak kecil sekarang.

“Bukan manajer juga sih, semacam editor tapi mengurusku juga.” Jawabku.

Ia banyak bertanya, menanyakan pendapat dan sesekali memintaku berbahasa Jepang. Aku tak menyangka bahwa ia ternyata cerewet sekali. Seperti anak kecil malah. Ia mengingatkanku pada Hyeon dan Mai.

Sampai di depan hotel. Ia menurunkanku di depan lobby, tempat drop-off.

“Bye-bye Jun.” Aku melambai sambil tersenyum padanya. Ia juga melambai dan tersenyum.

“Bye Rae, jangan tidur terlalu malam.” Ucapnya sambil berlalu pergi. Aku terdiam beberapa detik sebelum akhirnya mengerutkan kening. Anak itu berani memanggilku tanpa noona? Yaa! Berani sekali dia!

Aku berjalan ke kamarku sambil menggeleng-geleng. Saat aku memasukan kode di pintu terlintas di benakku. “Bagaimana mereka bisa masuk?”

Aku bertekad untuk menanyakan hal itu besok. Malam ini aku harus menyelesaikan Chapter 2 dan 3 novelku. Berarti 5000-15000 kata. Aku berpikir sejenak, mampukah aku melakukannya?

Ribet!

Hari keempat disana terus hujan sepanjang hari, aku baru sampai di tempat mereka jam sepuluh pagi.

Diluar ruangan mereka practice aku mendengar mereka sedang mengobrol, dan Jun juga ikut. Kukira ia jarang bicara, ternyata ia banyak bicara saat mengobrol. Aku masuk dan menyapa mereka.

Mereka bangun dan menyapaku balik. Setelah itu mereka semua duduk kecuali Jun yang pergi ke ruang practicenya. Hatiku terasa sakit, ia membenciku sampai segitunya?

“Rae-ssi, hari ini kita akan ada fan-meet di X university.” Ucap Zac mengajakku duduk. Aku memasang senyum dan ikut dalam percakapan itu. Aku mengikuti fanmeet mereka yang berlangsung cepat lalu pulang.

Di hotel aku berusaha menulis sebaik mungkin. Entahlah, aku kesal sekali atas sikap Jun tadi pagi. Setelah menulis tentang fanmeet mereka aku pun tertidur.

Esok paginya aku menelepon Momo-san dengan kesal. Entah kenapa pagi itu aku merasa sangat emosional. Aku bermimpi tentang Zac, Jun dan Momo-san tapi tidak ingat tentang apa. Hanya saja dalam keadaan setengah sadar, emosiku memuncak.

“Moshimoshi?” Sapa Momo-san.

“Apa saja yang perlu kuketahui tentang mereka? Fanmeet, practice, recording, stage, sudah semua kan? Aku mau pulang.” Ujarku cepat dengan nada kasar.

“Loh?? Kenapa? Memangnya tidak enak disana? Ada masalah dengan Vagels?” Tanya Momo-san khawatir.

“Nggak, aku cuma ingin pulang aja.” Jawabku dengan nada yang lebih lembut tapi malah terdengar seperti putus asa.

“Jangan, disini sedang sangat kacau. Pulang pun hanya membuatmu jadi berita saja. Diamlah dulu disana oke?” Ujar Momo-san memberikan alasan. Aku tau ia berusaha menenangkanku tapi aku yang begitu keras kepala langsung mematikan handphoneku.

Aku beranjak ke kamar mandi untuk berendam. Lumayanlah untuk mendinginkan kepalaku. Saat berendam aku menyanyikan lagu-lagu yang kuingat. Lalu rasanya begitu hening. Aku pun berhenti menyanyi. Kepalaku terasa berat dan aku tertidur dengan nyaman.

_BYARR_

Aku terbangun dengan kaget. Aku menoleh ke sekelilingku, ada seseorang berdiri di depan kaca kamar mandi. Seorang pria, si ketua kelas. Aku menatapnya tidak percaya.

“Rae…” Ia menyebutkan namaku. Ia terlihat begitu sedih dan hampir menangis. Melihatnya, aku merasa tubuhku kaku. Perasaanku menjadi aneh.

Ia mendekatiku dan membisikan sesuatu lagi di telingaku. Aku tidak ingat apa yang ia bisikan tapi aku menangis. Aku berteriak dengan kencang lalu kali ini, aku betul-betul membuka mataku. Rasa dingin menusuk kulitku. Aku tertidur di bak mandi, tapi bak itu kosong. Entah bagaimana, penutup lubang saluran air terbuka.

Aku tidak memperhatikan kejanggalan itu, menurutku aku hanya sangat sangat beruntung karena bisa secara tidak sengaja menendang penutup saluran itu. Aku tidak ingin berfikir lebih dari itu. Yang kutau, aku kedinginan dan aku memimpikannya lagi.

Aku menyesal karena masih tak bisa mengingat nama maupun apa yang ia katakan hingga aku menangis. Aku segera berpakaian dan memesan makanan dan obat flu. Aku pasti akan sakit, aku sudah merasa tidak enak badan. Saat bangun pagi itu jam 10.00 dan aku terbangun pukul 08.00 malam. Lama sekali aku tertidur.

Setelah makan dan minum obat aku menonton TV sambil duduk di ranjang. Setelah merasa mengantuk akibat obat itu, aku mengecilkan volume TV tapi tidak mematikannya dan tidur. Sepertinya aku mulai menjadi kebo.

Yang kupercaya adalah kalau sakit flu, minumlah obat dan tidur. Setelah bangun kau akan baik-baik saja. Tapi kenapa aku tidak merasa lebih baik saat bangun? Aku mengecek jam. 05.00 pagi. Harusnya aku sudah sembuh.

Aku menyerah lalu memutuskan untuk main game saja. Sebuah kegiatan yang sudah lama tidak kulakukan karena lebih sering menulis di waktu luang. Tapi aku menikmati game itu sampai akhirnya mengantuk lagi. Jadi akupun kembali tidur.

Saat aku terbangun aku melihat Jun kali ini. Ia sedang duduk di sofa. Ekspresinya seakan kaget aku bangun. Aku pun duduk di ranjang, Rasanya badanku basah semua

“Member lainnya sedang keluar sebentar.” Ucap Jun tiba-tiba. Aku mengangguk-angguk beberapa kali. Kenyataan dia datang di mimpiku saja membuatku merasa aneh.

Aku berjalan ke dapur lalu mengambil minum karena leherku terasa sakit. Saat aku kembali keluar aku melihat member lainnya memasuki kamarku.

Pelan-pelan aku menaruh gelas di meja disamping ranjang dan mengabaikan salam mereka. Aku mencubit tanganku keras-keras. Rasanya sakit sekali.

“Rae-ssi! What happened?” Tanya Raven kaget. Aku menggeleng cepat-cepat.

“Sepertinya ia pikir dia seang bermimpi. Hahahahha.” Tebak Zac dengan cepat. Aku hanya nyengir dan mengangguk.

“Habisnya waktu aku bangun tiba-tiba ada Jun di depanku.” Tunjukku pada Jun sambil membela diri.

“Jadi dia seperti mimpi bagimu?” Tanya Lee lalu mendekati Jun dan menyentuh pipi pria itu sambil tersenyum. Aku hanya bisa tertawa.

“Okay, jadi kenapa kalian ada disini?” Tanyaku serius setelah kita semua berkumpul di sofa dan aku berganti baju.

“Kita pikir hari ini noona tidak ke tempat kami karena marah. Padahal hari ini kami freetime dan rencananya kita ingin jalan-jalan.” Jawab Shin duluan. Seingatku baru kali ini ia betul-betul bicara denganku.

“Noona?” Aku kaget, memangnya aku tampak setua itu bagi mereka? Umurku hanya 26 kok.

“Aku 25” Tunjuk Zac pada dirinya sendiri. “Dan aku yang paling tua.” Lanjutnya dengan ekspresi yang mengasihaniku.

“Kalian terlihat tua.” Aku memandang mereka seakan menuduh. Sekilas sebelum memalingkan wajah, Jun tersenyum. Sekilas saja, tapi aku langsung mengubah ekspresiku.

“Marah kenapa?” Tanyaku mengubah topik. Walaupun jawabannya kira-kira karena Jun aku tetap menanyakannya.

“Tidak sih, itu hanya alasan saja.” Jawab Zac dan Keito hampir berbarengan. Mereka memberikan senyum yang meyakinkan. Aku tersenyum.

“Jadi, ayo kita berangkat. Kita hanya punya libur empat hari setahun. Kita tidak bisa menyia-nyiakannya kan?” Ajak Lee dengan cepat.

Setelah mengganti bajuku dengan blus putih, celana pendek salem, legging hitam semata kaki, dan ankle boots cokelat, kami pergi dengan seluruh crew mereka ke sebuah tempat wisata.

“Ayo kita coba bungee jumping!” Teriak salah seorang yang tidak kukenal. Setengah setuju dan setengahnya tidak. Tapi akhirnya kami ke tempat bungee jumping duluan.

Diatas udaranya terasa dingin. Aku melihat kebawah, kalau jatuh dari sini pasti meninggalkan? Hahaha.

“Siapa ingin duluan?” Tanya sang pembimbing. Karena tidak ada yang mau duluan aku memberanikan diri untuk turun duluan. Aku melihat kebawah, air laut, pasir, dan batu karang.

“Yak, siap.” Ucap si pembimbing. Aku mengangguk dan melompat turun dengan cepat. Saat terjatuh selama sekian detik aku merasa lepas. Tapi lalu aku naik dan turun lagi. Tanpa teriakan atau jeritan aku hanya menikmati angin.

Saat itu, saat aku jatuh, ada sedikit harapan bahwa taliku putus atau lepas. Sedikit saja.

Mood Changing

Aku kembali menstalk mereka lagi hari ini. Mereka akan melakukan photo shoot untuk album mereka yang terbaru. Dimulai dari Lee yang sepertinya sangat digemari setiap gadis di tempat itu. Senyumnya memang manis sih.

Selanjutnya Jun yang rambutnya sudah diubah. Tetap saja aku lebih suka yang dulu, tapi ia sangat keren. Tidak ada yang ingin terlalu dekat dengannya, hanya berani memandang dari jauh saja. Memangnya ia semenakutkan itu ya? Ia menyadari aku memandanginya dan menatapku. Aku tersenyum dan kembali memperhatikan Zac.

Zac terlihat ceria dan ia banyak senyum. Kami sempat bertemu pandang dan ia melambai padaku. Aku yang kaget hanya menunduk. Aku bahkan tidak yakin ia melambai padaku atau pada kamera karena aku berdiri di belakang kamera.

“Rae-ssi!” Panggil seorang gadis dari jauh. Ia terlihat sangat senang.

“Ya?” Aku dengan cepat berbalik kepadanya. Ia mengeluarkan sebuah buku dan bolpoin. Rupanya fansku, ia membaca buku bahasa Jepang? Aneh sekali, kukira bukuku tidak akan sampai ke Korea.

“Bisa minta tanda tanganmu tidak? Aku sangat-sangat menyukai karyamu!” Ucap gadis itu dalam bahasa Jepang yang fasih. Ternyata ia orang Jepang. Ia menceritakan bagaimana kakaknya mengiriminya bukuku.

Aku tersenyum padanya dan menandatangani buku itu dan mengembalikannya. Kami mengobrol selama beberapa saat. Ia bahkan sempat bercerita bagaimana kakaknya yang juga membaca bukuku sangat menyukai “Rotten, Yet Beautiful” dan bisa dibilang itu percakapan yang panjang.

Saat gadis itu pergi, kegiatan photo shoot sudah selesai. Aku mengikuti mereka ke gedung practice lagi. Mereka berlatih tanpa henti. Rasanya kasihan juga melihat mereka yang berkeringat tapi masih tidak berhenti. Aku menghampiri manajer mereka.

“Apa mereka selalu seperti ini setiap hari?” Tanyaku.

“Tidak, kadang mereka ke gym. Menjadi idol memang sangat sulit. Menjadi boneka untuk menyenangkan orang lain. Puppet.” Ucap manajernya sambil terkekeh, menertawakan mereka. Aku hanya mengangkat bahu.

Setelah mereka selesai aku bertepuk tangan dan tersenyum. “Kalian menakjubkan.” Ucapku memberi semangat. Aku tidak tau kalau menjadi idol sesusah itu. Mereka membalas senyumku. Bahkan Jun juga, walaupun ia langsung menutupinya. Selama mereka beristirahat aku pamit pulang karena sehabis ini mereka akan syuting dan aku tidak berniat menganggu sejauh itu.

Sampai di hotel aku berhasil menyelesaikan chapter pertama pada novelku. Semua berjalan dengan baik dan lancar kecuali masalah pribadiku.

Di Jepang, gosip itu merambat naik lagi akibat rumahku kedatangan manajer Shim Hye Jin. Kata Hyeon wartawan mulai berdatangan tapi Hyeon berhasil meyakini bahwa aku tidak ada dirumah sebelum ia akhirnya pergi ke rumah Mai-chan.

Aku sedang tidak ingin memikirkan hal itu jadi lupakan saja. Aku punya dua minggu lebih untuk tidak memikirkan Hye Jin yang sepertinya terus-terusan mengganggu ku secara tidak langsung. Yah baiklah, aku yakin ia bukannya sengaja melakukannya.

Berganti topik, novelku berjalan dengan sangat baik. Aku sudah mengirim chapter pertama pada Momo-san dan ia bilang bagus. Seperti biasa, mungkin semua rencananya selalu berhasil. Aku bersyukur memiliki editor sebaik Momo-san.

Malam itu aku menelepon ke London, sebuah kegiatan yang harusnya kulakukan setiap bulan. Tapi aku lebih sering lupa dan melakukannya dua kali di bula berikutnya.

“Rae!” Sapa kakakku yang pertama, ibu Hyeon.

“Eonni! Sedang apa?” Tanyaku.

“Kami sedang menonton TV bersama, kemarin Won membelikan kaset film **** untuk kami. Bagaimana kabar Hyeon? Eh tunggu sebentar.” Jawab Kang Cha Ra atau lebih sering dipanggil Caca. Aku bisa mendengar eonni meneriakan namaku. Mungkin ia mengabari kalau aku menelepon.

“RAE!!! KEMANA AJA KAMU!” Teriak kakaknya yang kedua, sudah puya anak tapi masih kecil sekali. Kang Baek Won atau Won.

“Won hyung!” Ejekku dengan suara yang diberatkan. Dulu aku sering berpura-pura menjadi adik laki-laki Won oppa.

“Bicaralah dengan mama dulu sana.” Ucap Won oppa sambil tertawa.

“Omma.” Panggilku pelan.

“Rae..? Mama senang kamu telepon. Mama udah liat buku kamu yang baru, gimana kabarnya sekarang?” Tanya mamanya lembut.

“Baik Ma, couldn’t be better. Mama gimana? Batuknya udah sembuh Ma?” Tanyaku.

“Udah. Rae udah punya pacar belom?” Tanya mamanya lagi, mulai menginterogasi dirinya.

“Belum Ma, kalau jodoh pasti ketemu kok.” Aku tersenyum walaupun tau mama tidak bisa melihatnya.

“Yasudah, mengobrolah sama kakak-kakakmu.” Ada nada kecewa dalam suara mama-nya tapi Rae pun tak bisa berbuat apa-apa.

“Aku duluan Noona!” Paksa Won oppa kemungkinan sambil merebut gagang telepon dari eonni.

“Hei adik kecil, kau terlalu mencintai oppa-mu ini kan sampai tak bisa mencintai pria lain? Aku tau aku memang sangat keren, tapi aku sudah punya istri tau.” Ucap Won oppa sambil bercanda. Aku tertawa.

“Cepatlah cari laki-laki yang baik, aku ingin melihat seorang keponakan yang kece tau. Aku ingin sekali.” Lanjutnya tanpa memberiku jeda untuk membalas. Kali ini ia menggunakan ada memelas yang lebay. Aku pun tertawa lagi.

“Iya oppa, aku akan pulang membawa calonku.” Jawabku di sela-sela tawa.

“Sering-seringlah telepon oke? Kau tau kami tidak mungkin mengganggu kerjamu, karena itu kau harus lebih sering menelepon kami kalau sedang tidak sibuk.” Paksanya lagi, kali ini ia serius.

Aku mengangguk-angguk sambil mengiyakan. Gagang berpindah pada eonni.  Kakak perempuanku lebih kalem dan tidak secerewet Won oppa. Tapi kelembutannya malah kadang membuatku canggung. Selama beberapa detik tidak ada suara disana. Hingga akhirnya aku membuka mulut duluan.

“Eonni, gimana kabar mama?” Tanyaku.

“Mama baik, batuknya sembuh total dan gulanya juga sudah normal.” Balasnya.

“Eonni, ada banyak yang ingin kuceritakan sebetulnya. Bagaimana kalau aku kirim email saja?” Tanyaku berusaha mengusir kecanggunggan ini. Setelah eonni setuju aku mengetik di laptopku tentang semua hal yang terjadi padaku belakangan ini. Semuanya tanpa terkecuali. Selesai mengirimkannya aku menutup laptop itu dan berusaha tidur.